Beberapa tahun silam, janji besar teknologi datang bergelombang. Istilah-istilah seperti Metaverse dan NFT diagungkan seolah akan menjadi bagian penting dari masa depan kita semua. Perangkat layar kaca, realitas virtual, rantai blok, dan token digital — semua istilah tersebut membentuk imaji baru tentang bagaimana kita akan bekerja, bersosialisasi, dan berkreasi.
Namun sekarang, ketika gelombang tren semua itu mereda di tengah kenyataan, kita perlu menoleh sejenak dan bertanya. Apa yang sebenarnya terjadi?
Bagi pengguna biasa, industri teknologi, dan investor, kegagalan relatif dari Metaverse dan Non-Fungible Token (NFT) bukan berita mengejutkan. Yang lebih mengejutkan ialah bagaimana kegagalan itu bukan semata soal teknologi yang belum matang, melainkan soal bagaimana keduanya nyaris mengecewakan karena mengabaikan realitas yang paling mendasar, yaitu kenyamanan manusia dan gravitasi ekonomi.
Artikel ini ialah autopsi atas delusi kolektif yang sempat memabukkan banyak orang. Kematian tren Metaverse dan NFT bukanlah sebuah kebetulan, melainkan koreksi atas kenyataan, bahwa teknologi secanggih apa pun akan runtuh bila tidak menawarkan nilai praktis yang jelas.
Antara dunia virtual dan kepemilikan semu
Sebelum menelusuri sebab kegagalannya, kita perlu memahami apa sebenarnya Metaverse dan NFT terlebih dahulu.
Metaverse adalah visi tentang ruang virtual bersama, di mana pengguna menggunakan avatar digital untuk berinteraksi, bekerja, dan hidup di dunia yang dibuat oleh komputer. Teknologi seperti realitas virtual (VR), realitas berimbuh (AR), dan rantai blok menjadi fondasi utamanya.
Pengguna perlu menggunakan perangkat VR, seperti Meta Quest, untuk dapat masuk ke Metaverse. Bayangkan kita harus memakai helm besar dan berjalan di ruang kosong hanya untuk menghadiri rapat yang akan terasa lebih kikuk dibandingkan konferensi video di Zoom. Singkatnya, itulah pengalaman banyak pengguna Metaverse.
NFT, atau Non-Fungible Token, adalah sertifikat digital berbasis rantai blok yang diklaim untuk membuktikan kepemilikan atas aset digital tertentu, termasuk gambar, musik, video, atau barang virtual di Metaverse. Bagi banyak orang, NFT lebih menyerupai ilusi kepemilikan, karena siapa pun tetap bisa menyimpan salinan gambar atau video yang sama secara gratis.
Intinya, bila Metaverse menawarkan dunia yang tidak pernah benar-benar hidup, maka NFT menjual kepemilikan yang tidak pernah benar-benar eksklusif.
Realitas yang mengubur fantasi
Realitas pertama yang menghantam tren Metaverse dan NFT ialah friksi pengguna. Perangkat VR terasa berat dan tidak nyaman untuk dipakai lama, perlu ruang gerak yang khusus, dan sering kali menghasilkan pengalaman sosial yang kaku. Di salah satu platform Metaverse populer, jumlah pengguna aktif harian bahkan sempat hanya ribuan, meskipun miliaran dolar sudah diinvestasikan.
NFT menghadapi masalah serupa. Pengguna masih perlu mempelajari beberapa konsep asing seperti dompet kripto dan kunci pribadi. Kompleksitas tersebut menjadi dinding besar bagi pengguna umum yang sekadar ingin memiliki karya digital tanpa repot tentang teknis dan biaya tersembunyi di balik NFT.
Realitas kedua yaitu hukum ekonomi yang tidak bisa diakali. Nilai Metaverse dan NFT sepenuhnya bergantung pada spekulasi dan rasa takut tertinggal, atau FOMO. Di masa pandemi, ketika ekonomi dunia tidak baik-baik saja, keduanya tampak menunjukkan prospek yang menjanjikan. Namun ketika kondisi ekonomi membaik, tren keduanya mulai memudar.
Tanah virtual di Metaverse yang dulu dijual seharga ribuan dolar kini kosong dan tak berpenghuni. Aset-aset NFT yang dulu laku ratusan ribu dolar sekarang nyaris tak bernilai. Riset menunjukkan bahwa lebih dari 95 persen koleksi NFT kehilangan nilai pasarnya, tanda bahwa tidak ada utilitas yang menopang.
Spekulasi ialah bahan bakar yang cepat terbakar. Begitu uang berhenti mengalir, tidak ada fondasi ekonomi yang mendukung mimpi digital keduanya.
Realitas ketiga dan yang paling mendasar yaitu Metaverse dan NFT adalah solusi yang mencari-cari masalah. Mereka dibangun bukan karena ada kebutuhan, melainkan karena bisa dibuat. Metaverse ingin menggantikan ruang sosial yang sudah berfungsi dengan baik, sedangkan NFT mencoba memonetisasi kepemilikan atas sesuatu yang tidak benar-benar langka.
Contohnya, konser virtual yang diadakan di dunia Metaverse terasa hambar dibanding konser sungguhan; bahkan acara langsung yang disiarkan di YouTube dapat memberikan pengalaman yang lebih berkesan. NFT pun gagal memberi nilai tambah bagi seniman, karena pasar hanya memedulikan harga, bukan karya yang sedang dijual belikan.
Dari semua itu, kita dapat menyimpulkan bahwa kesalahan paling mendasar dari tren Metaverse dan NFT ialah ketidakhadiran nilai manusiawi, yaitu kegunaan, kenyamanan, dan makna yang ditawarkan keduanya.
Kegagalan yang menyadarkan
Menurut saya, kegagalan Metaverse dan NFT bukan merupakan tragedi, melainkan proses yang menyadarkan. Dunia teknologi perlu koreksi semacam ini untuk memisahkan antara inovasi sejati dengan fantasi yang hanya menghabiskan uang.
Keduanya gagal bukan karena teknologinya buruk, namun karena keduanya tidak lahir untuk kebutuhan manusia. Mereka melupakan prinsip yang sederhana di mana teknologi harus melayani kehidupan, bukan membebaninya.
Metaverse memaksa pengguna menyesuaikan diri dengan perangkat yang rumit. NFT memaksa pembeli untuk memahami sistem finansial yang tidak intuitif dan stabil. Ketika kenyamanan dan makna tidak terasa, pengguna akan pergi. Dan ketika pengguna pergi, ekosistem digital yang dibangun ikut runtuh.
Kini kita sedang berada di tengah tren besar berikutnya, yakni Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Menilik kegagalan Metaverse dan NFT, seharusnya kita lebih berhati-hati. Pertanyaan yang harus kita ajukan yaitu bukan tentang seberapa canggih teknologi yang dibawa, tetapi tentang apakah AI dapat berguna dan mempermudah kehidupan manusia.
Antara optimisme dan kewaspadaan
Kegagalan Metaverse dan NFT mengajarkan kita bahwa masa depan tidak dapat dibangun dengan ekspektasi kosong. Setiap inovasi teknologi memerlukan pijakan pada kenyataan, yaitu manusia, kebutuhan, dan nilai guna.
Bagi pengembang, ini merupakan pengingat untuk merancang teknologi yang dapat menyelesaikan masalah. Bagi investor, ini adalah sinyal berhenti mengejar FOMO dan mulai mengejar keberlanjutan. Dan bagi pengguna, ini adalah kesempatan untuk menjadi konsumen yang lebih kritis lagi terhadap janji masa depan dunia digital.
Karena pada akhirnya, masa depan yang layak diperjuangkan bukanlah yang paling futuristik, melainkan yang paling masuk akal — yang bisa membuat hidup manusia sedikit lebih mudah, lebih berarti, dan lebih nyata.








